3.

Senandung Indeks Prestasi


MALANG (fathz-341.blogspot.com) - Nilai IPku turun, bro. Begitulah sepatah kata yang dilontarkan oleh salah seorang sahabatku. Universitas Negeri Malang (UM) memang telah menyelesaikan Ujian Akhir Semester (UAS) bagi para mahasiswanya. Keceriaan nampak menghiasi sebagian wajah mahasiswa setelah mengambil Kartu Hasil Studi (KHS) di gedung RR pada hari Jum’at, 3 Juni kemarin. Namun, beberapa dari mereka juga kelihatan murung. Mungkin Indeks Prestasi (IP) mereka turun atau tidak sesuai dengan harapan.

Seorang mahasiswa akan memperoleh penghargaan dari kampus yang bersangkutan, diukur dari nilai IP yang dihasilkan. Meskipun IP bukanlah sebuah standar baku dalam menentukan kecerdasan seorang mahasiswa, namun paling tidak dari sanalah gambaran sederhana tentang kecerdasan seorang mahasiswa dapat dilihat.

Beberapa faktor diduga sebagai pemicu rendahnya IP yang diperoleh oleh mahasiswa. Salah satunya adalah faktor kedisplinan mereka yang masih kurang. Jarang masuk kelas dan terlambat mengumpulkan tugas, atau bahkan tidak mengumpulkan tugas sama sekali.

Malas bukanlah sebuah faktor yang layak dijadikan sebagai alasan. Selalu ada cara untuk menjadi cerdas. Disinilah letak perbedaan antara mahasiswa pandai dan cerdas. Mahasiswa pandai mampu membaca situasi. Misalnya, ketika dosen menerangkan di depan, si mahasiswa pandai tetap bisa ber-SMS ria ataupun mendengarkan lagu melalui headset. Tapi, mahasiswa cerdas mampu memanfaatkan situasi. Dengan kemampuan yang serba terbatas, ia mampu menjadi bintang di kampusnya.

Untuk menjadi seorang mahasiswa cerdas, hanya dibutuhkan kemauan, going to the extra miles dan menjadi pribadi out of the box. Dengan kemauan yang tinggi, seseorang akan memiliki motivasi untuk menggapai cita-citanya. Selanjutnya, ia harus melakukan apa yang orang lain belum lakukan saat itu (going to the extra miles). Misalnya, deadline pengumpulan tugas minggu depan, tapi seorang mahasiswa cerdas akan segera mengumpulkan tugasnya sesegera mungkin tanpa menunggu deadline. Dan yang terakhir adalah pola berpikir out of the box (keluar dari pola pikir wajar). Maksudnya, seorang mahasiswa cerdas selalu memikirkan hal-hal unik yang kemungkinan besar memberikan manfaat bagi dirinya dan orang-orang disekitarnya.

Mahasiswa adalah the agent of change. Sebuah tolak ukur terhadap tingkat kemajuan suatu bangsa beberapa tahun kedepan. Perubahan signifikan terhadap kemajuan suatu bangsa bertitik tumpu pada pergerakan mahasiswanya. Mahasiswa yang kritis diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang adil dan bijaksana.

Terlepas dari cerdas atau tidaknya seorang mahasiswa, bangsa ini memang sedang membutuhkan generasi penerus yang mampu menjadi the real leader. Memiliki daya saing yang tinggi, kreatif & inovatif, etos kerja yang bagus, serta kejujuran yang konsisten. Karakter-karakter tersebut tentu akan dapat dengan mudah diaplikasikan oleh mahasiswa cerdas.

Namun sayang, beberapa mahasiswa dengan IP yang luar biasa di negeri ini, ketika terjun ke dunia politik, justru kehilangan taji-nya. Mereka lupa terhadap masa-masa mereka sebagai mahasiswa yang gemar menyuarakan penderitaan rakyat. Akhirnya, muncullah statemen, mengajari orang cerdas itu mudah, tapi mendidik orang jadi benar itu susah. Tampaknya, IP hanya mampu menyenandungkan bait-bait sumbang khas elite politik negeri ini.

Bocah Pemulung

MALANG (fathz-341.blogspot.com) - “Mas, beli dong. Ini ada tempat pensil, gantungan kunci, stiker, murah-murah kok. Ini aku buat sendiri loh!” beberapa bait tadi meluncur dari mulut mungil seorang pemulung kecil yang biasanya mengais-ngais botol bekas di sekitar kampus. Tampaknya, selain menjadi pemulung, ia juga memanfaatkan barang-barang bekas yang berhasil ia kumpulkan menjadi seni kerajinan tangan.
Kehidupan bocah-bocah pemulung memang sangat menarik untuk ditelusuri. Mulai dari kegiatan mereka sehari-hari mencari barang bekas, hingga kejelian mereka memanfaatkan waktu yang ada untuk mengenyam bangku pendidikan. Bagi mereka, belajar merupakan sebuah aktifitas yang sangat menyenangkan, walau kadang tanpa di dukung sarana yang memadai.
Bandingkan dengan orang-orang dari golongan menengah ke atas. Semua fasilitas tersedia tapi keinginan & motivasi belajar mereka sangat rendah, sehingga mereka tidak produktif dalam kapasitasnya sebagai pelajar. Jangankan di suruh membuat kerajinan tangan dari barang bekas, menjaga & merawat barang-barang mereka yang super mahal saja mereka tidak bisa.
Himpitan ekonomi memaksa para bocah pemulung untuk merelakan sebagian waktunya yang seharusnya bisa mereka gunakan untuk bermain dan belajar dengan bekerja demi mengais rupiah. Tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai di tambah dengan rendanya skill semakin memperpuruk kondisi kedua orang tua mereka, hingga akhirnya mereka rela melihat anak-anak mereka bekerja.
Coba anda bayangkan, orang tua mana yang rela melihat anak mereka yang masih ingusan bekerja mencari uang sendiri? Belum lagi faktor dari luar yang memungkinkan mereka mengalami kekerasan, pelecehan seksual hingga kejahatan lain yang mungkin saja bisa terjadi di jalanan.
Mungkin, yang sering terlintas dalam benak kita adalah bocah-bocah dekil yang tidak berguna, yang kerjanya hanya menggangu, bahkan anda sering merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka. Mereka selalu menjadi kaum yang termarjinalkan. Di anggap sebelah mata oleh sebagian orang.
Namun, mereka sebenarnya memilki segudang prestasi. Banyak dari mereka yang tiap tahunnya berhasil menjadi bintang kelas. Terlebih, sebagian dari mereka juga memiliki soft skills dalam bidang seni kriya. Andai saja orang-orang di sekitar mereka sedikit peka terhadap kondisi yang mereka alami. Tentu, mereka akan menyediakan ruang bagi bocah pemulung untuk mengembangakan bakat dan kemampuan mereka. Misalnya dengan memberikan pelatihan membuat kerajinan tangan dari bahan bekas, cara mengolah sampah organik menjadi kompos, dan sebagainya.
Kegiatan pelatihan seperti di atas tidak membutuhkan ruang dan waktu yang banyak, hanya membutuhkan kesabaran dan keuletan serta sejauh mana hati nurani kita tergerak untuk memaksimalkan potensi para bocah pemulung tersebut. Banyak cara untuk cerdas. Keterbatasan bukanlah alasan untuk tidak produktif. Justru itu, keterbatasan seharusnya mampu di manfaatkan sebagai pelecut untuk meraih kesuksesan. Hanya kemalasan dan kesombongan diri yang mampu menjadi tembok kokoh pemisah untuk berbuat baik kepada sesama. Sudah selayaknya kita mengapresiasi seni kriya buatan para bocah pemulung. Karena mereka mampu menciptakan karya seni yang sesungguhnya bisa mengusik hati nurani kita untuk berbuat baik.
Di Muat di harian Surya, Rabu ! Juni 2011

;;