3.

on Thursday 18 nov 2010
MALANG (fathz-341.blogspot.com) - Matahari masih terlelap dalam peraduannya, dua sosok manusia nampak menunggangi si bebek besi "honda", memecah kesunyian dan dinginnya kota malang. Geliat kehidupan nampaknya sudah mulai terlihat ketika kami sampai di bibir terminal. Sesaat setelah sampai di terminal Arjosari beberapa kondektur bus menawarkan bus-bus mereka yang akan membawa para penumpang ke beberapa kota tujuan. Tanpa menunggu lama, ibuku pun segera memeperoleh bus yang akan membawanya ke Gresik, sebuah kota kecil di utara pesisir jawa.

Pagi tadi aku mengantarkan ibu pulang. Meski hanya sampai terminal, aku merasa senang. Tak terasa, air mata itu meleleh begitu bus yang ditumpangi ibu berangkat meninggalkan terminal Arjosari.
Ibu, maafkan anakmu ini. Aku belum bisa membahagiakanmu. Bila ku ingat, masa kecilku ku slalu menyusahkanmu. Masih jelas dalam memoriku, si fatih kecil uang manja dan rewel. Saat itu, aku tidak akan bisa tidur jika tanpa dekpanmu. Aku akan marah jika ada orang lain yang mengajakmu bicara, aku selalu ingin engkau perhatikan. Setiap malam, hampir pasti aku membangunkanmu.
Beranjak besar, aku mulai menyibukkanmu dengan segala penyakitku. Yah, aku memang terlahir dengan beberapa ujian. Namun aku ingat, "Jika Allah menghendaki kebaikan dari seorang hambaNya, maka cara Allah itu adalah dengan memberikan ujian baginya." Saat itu, hujan begitu derasnya. Petir menyambar begitu dahsyat. Tidak ada lagi angkot yang melewati rumahku. Padahal, jarak antara rumah dengan tempatku saat itu(RSUD Gresik) kutang lebih 35 Km. Hari itu aku sakit, maka ibu membawaku ke RSUD karena saat itu di daerahku belum ada RS. Padahal, jam sudah menunjukkan angka 12 malam!! Masya Allah,, dengan sabar ibu mengajakku menunggu tumpangan, berharap pertolongan Allah segera datang. Akhirnya kami bisa pulang dengan menumpang pick up penjual lele.
Bersambung

Do'a untuk Indonesia (Part 1)

YOGYAKARTA (fathz-341.blogspot.com) - Mata ini masih basah oleh lelehan air mata. Seolah-olah, duka ini tiada akhir. Dalam dinginnya malam, aku mencoba untuk menuliskan sedikit gelisah hatiku. Sedikit tentang kepedihan yang dialami oleh saudara-saudaraku.
Aku mematung. Langitku masih nampak gelap. Tak ada beda antara siang dan malam. Sejauh mata memandang, hanya debu-debu putih terhampar. Menyelimuti tubuh yang menggigil karena dinginnya malam. Beberapa tubuh mungil telah terlelap dalam buaian mimpi panjang. Ah, mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan negeri ini. Negeri yang aman dan damai, dimana rakyatnya tak perlu lagi bersusah payah untuk mendapatkan sesuap nasi.
Aku bingung dengan tingkah para awak media. Mereka selalu menuliskan semua ini dengan kata "Bencana" alam. Sekejam itukah alam kepada kita? Yang selalu kita jarah dengan keserakahan? Yang kita sendiri tidak pernah peduli dengan kelestariannya? Asalkan anak istri di rumah bisa makan kenyang, kemana-mana pakai mobil mewah, yang dibawa uang jutaan rupiah? Dimana letak ke"Manusia"anmu wahai saudaraku?

Selanjutnya, kami yang jadi korban. Demi kepentingan sejumlah orang-orang berdasi, bermuka dua, dan berhati rubah. Kami tidur hanya bermodalkan selembar tikar. Sementara kalian? bertumpuk-tumpuk spring bed-pun bisa kalian beli. Kami hanya bisa makan sepotong roti dan sesuap nasi, itupun kalau masih kebagian. Sementara kalian? Dengan anggun kalian melangkah menuju restaurant-restaurant hotel berbintang. Di sini, kami hanya mengenakan kaos oblong tipis, sekedar untuk membalut kulit kurus kami. Sementara kalian? Setiap menit bahkan setiap detik kalian bisa berganti pakaian.
Aku tidak butuh uangmu, berasmu, bajumu, dan seluruh bantuan darimu, kalau toh semua itu hanya untuk memuluskan langkahmu memasang bendera-bendera berwarna-warni di tempatku. Di sini sudah banyak orang seperti itu. Kami tak butuh lagi. Kami hanya ingin keikhlasanmu. Kedatanganmu yang cuma semenit akan lebih berarti daripada yang 2 Jam 40 Menit.
Apakah kalian akan menunggu "teguran" itu datang menghampiri kalian? Aku harap tidak! Cukuplah pelajaran itu bagi kami. Kami tidak ingin ada saudara kami yang mengalaminya lagi.
Aku sedih. Tidak ada lagi yang meramaiakn surau didepan rumahku. Aku sedih, tidak ada lagi lantunan merdu dari mulut adik kecilku. Aku sedih, Bangsa ini tak kunjung dewasa. Aku sedih, tak bisa lagi menyaksikan lagu Indonesia raya dikumandangkan di even-even Internasional. Dalam kesedihanku, aku hanya bisa berharap agar kelak anak cucuku tetap bisa hidup di suatu negara yang bernama "Indonesia".

MALANG (fathz-341.blogspot.com) Alam mengamuk, bencana terjadi hampir di seluruh penjuru negeri. Mulai dari tsunami di Mentawai, meletusnya Gunung Merapi, serta banjir di Wasior, Papua. Nampaknya, ada yang tidak beres dengan perilaku penguasa kita. Terjadi ketidakharmonisan antara alam dengan perilaku penguasa saat ini. Mungkin, hal itu pula yang melandasi Mbah Marijan tidak mau menuruti titah Sultan HB X dan tetap berpegang pada titah HB IX.
Kenapa? karena mungkin Mbah Marijan beranggapan bahwa HB X sudah tidak peduli lagi dengan alam yang ada di wilayahnya. HB X cenderung berpikir yang analitis praktis sesuai dengan era globalisasi saat ini. HB X telah mulai meninggalkan nilai-nilai leluhur yang sudah dipegang sejak bertahun-tahun lamanya. Bahkan, muncul keinginan dari beliau untuk menjadi seorang presiden di negeri ini.

Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah pusat. Pak SBY menunda kunjungannya ke Wasior selama sepekan. Bahkan, ketika akhirnya "sukses" melakukan kunjungan ke Wasior, Pak SBY hanya singgah di sana selama 2 jam 40 menit. Coba bandingkan dengan Sebastian Pinere (presiden Chile,doc), ketika para penambang Chile akan di evakuasi, Pinere rela menyaksikan langsung proses evakuasi di TKP selama hampir 3 jam.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang luhur, beradab, dan saling menghormati sesama. Bukan bangsa yang semaunya sendiri, egois dan sombong. Bangsa ini butuh pemimpin yang dapat mengayomi rakyatnya. bangsa ini butuh pemimpin yang cerdas membaca situasi.
Menurut Sujiwo Tejo, tidak seharusnya masyarakat dan media menyebut semua ini dengan "bencana alam". Beliau lebih suka menyebutnya dengan "Sabda alam". Karena, pada dasarnya alam tidak akan berulah, jika manusia yang bertindak sebagai khalifah fil ardh tidak membuat kerusakan . Jangan pernah menyalahkan alam. Alam adalah susunan yang proporsional dan kompatibel. Semua unsur yang terkandung di dalamnya saling berhubungan. jika satu unsur saja di rusak, maka akan berakibat dengan unsur lainnya.
Terlepas dari semua itu, kita seharusnya bisa mengambil "ibroh" atau pelajaran dari semua itu. Dan mulai saat ini, kita harus menerapkan prinsip "management by anticipation", bukan lagi "management by accident". Wallahu a'alam bisshowab

;;