MALANG (fathz-341.blogspot.com) - “Mas, beli dong. Ini ada tempat pensil, gantungan kunci, stiker, murah-murah kok. Ini aku buat sendiri loh!” beberapa bait tadi meluncur dari mulut mungil seorang pemulung kecil yang biasanya mengais-ngais botol bekas di sekitar kampus. Tampaknya, selain menjadi pemulung, ia juga memanfaatkan barang-barang bekas yang berhasil ia kumpulkan menjadi seni kerajinan tangan.
Kehidupan bocah-bocah pemulung memang sangat menarik untuk ditelusuri. Mulai dari kegiatan mereka sehari-hari mencari barang bekas, hingga kejelian mereka memanfaatkan waktu yang ada untuk mengenyam bangku pendidikan. Bagi mereka, belajar merupakan sebuah aktifitas yang sangat menyenangkan, walau kadang tanpa di dukung sarana yang memadai.
Kehidupan bocah-bocah pemulung memang sangat menarik untuk ditelusuri. Mulai dari kegiatan mereka sehari-hari mencari barang bekas, hingga kejelian mereka memanfaatkan waktu yang ada untuk mengenyam bangku pendidikan. Bagi mereka, belajar merupakan sebuah aktifitas yang sangat menyenangkan, walau kadang tanpa di dukung sarana yang memadai.
Bandingkan dengan orang-orang dari golongan menengah ke atas. Semua fasilitas tersedia tapi keinginan & motivasi belajar mereka sangat rendah, sehingga mereka tidak produktif dalam kapasitasnya sebagai pelajar. Jangankan di suruh membuat kerajinan tangan dari barang bekas, menjaga & merawat barang-barang mereka yang super mahal saja mereka tidak bisa.
Himpitan ekonomi memaksa para bocah pemulung untuk merelakan sebagian waktunya yang seharusnya bisa mereka gunakan untuk bermain dan belajar dengan bekerja demi mengais rupiah. Tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai di tambah dengan rendanya skill semakin memperpuruk kondisi kedua orang tua mereka, hingga akhirnya mereka rela melihat anak-anak mereka bekerja.
Coba anda bayangkan, orang tua mana yang rela melihat anak mereka yang masih ingusan bekerja mencari uang sendiri? Belum lagi faktor dari luar yang memungkinkan mereka mengalami kekerasan, pelecehan seksual hingga kejahatan lain yang mungkin saja bisa terjadi di jalanan.
Mungkin, yang sering terlintas dalam benak kita adalah bocah-bocah dekil yang tidak berguna, yang kerjanya hanya menggangu, bahkan anda sering merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka. Mereka selalu menjadi kaum yang termarjinalkan. Di anggap sebelah mata oleh sebagian orang.
Namun, mereka sebenarnya memilki segudang prestasi. Banyak dari mereka yang tiap tahunnya berhasil menjadi bintang kelas. Terlebih, sebagian dari mereka juga memiliki soft skills dalam bidang seni kriya. Andai saja orang-orang di sekitar mereka sedikit peka terhadap kondisi yang mereka alami. Tentu, mereka akan menyediakan ruang bagi bocah pemulung untuk mengembangakan bakat dan kemampuan mereka. Misalnya dengan memberikan pelatihan membuat kerajinan tangan dari bahan bekas, cara mengolah sampah organik menjadi kompos, dan sebagainya.
Kegiatan pelatihan seperti di atas tidak membutuhkan ruang dan waktu yang banyak, hanya membutuhkan kesabaran dan keuletan serta sejauh mana hati nurani kita tergerak untuk memaksimalkan potensi para bocah pemulung tersebut. Banyak cara untuk cerdas. Keterbatasan bukanlah alasan untuk tidak produktif. Justru itu, keterbatasan seharusnya mampu di manfaatkan sebagai pelecut untuk meraih kesuksesan. Hanya kemalasan dan kesombongan diri yang mampu menjadi tembok kokoh pemisah untuk berbuat baik kepada sesama. Sudah selayaknya kita mengapresiasi seni kriya buatan para bocah pemulung. Karena mereka mampu menciptakan karya seni yang sesungguhnya bisa mengusik hati nurani kita untuk berbuat baik.
Di Muat di harian Surya, Rabu ! Juni 2011
Himpitan ekonomi memaksa para bocah pemulung untuk merelakan sebagian waktunya yang seharusnya bisa mereka gunakan untuk bermain dan belajar dengan bekerja demi mengais rupiah. Tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai di tambah dengan rendanya skill semakin memperpuruk kondisi kedua orang tua mereka, hingga akhirnya mereka rela melihat anak-anak mereka bekerja.
Coba anda bayangkan, orang tua mana yang rela melihat anak mereka yang masih ingusan bekerja mencari uang sendiri? Belum lagi faktor dari luar yang memungkinkan mereka mengalami kekerasan, pelecehan seksual hingga kejahatan lain yang mungkin saja bisa terjadi di jalanan.
Mungkin, yang sering terlintas dalam benak kita adalah bocah-bocah dekil yang tidak berguna, yang kerjanya hanya menggangu, bahkan anda sering merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka. Mereka selalu menjadi kaum yang termarjinalkan. Di anggap sebelah mata oleh sebagian orang.
Namun, mereka sebenarnya memilki segudang prestasi. Banyak dari mereka yang tiap tahunnya berhasil menjadi bintang kelas. Terlebih, sebagian dari mereka juga memiliki soft skills dalam bidang seni kriya. Andai saja orang-orang di sekitar mereka sedikit peka terhadap kondisi yang mereka alami. Tentu, mereka akan menyediakan ruang bagi bocah pemulung untuk mengembangakan bakat dan kemampuan mereka. Misalnya dengan memberikan pelatihan membuat kerajinan tangan dari bahan bekas, cara mengolah sampah organik menjadi kompos, dan sebagainya.
Kegiatan pelatihan seperti di atas tidak membutuhkan ruang dan waktu yang banyak, hanya membutuhkan kesabaran dan keuletan serta sejauh mana hati nurani kita tergerak untuk memaksimalkan potensi para bocah pemulung tersebut. Banyak cara untuk cerdas. Keterbatasan bukanlah alasan untuk tidak produktif. Justru itu, keterbatasan seharusnya mampu di manfaatkan sebagai pelecut untuk meraih kesuksesan. Hanya kemalasan dan kesombongan diri yang mampu menjadi tembok kokoh pemisah untuk berbuat baik kepada sesama. Sudah selayaknya kita mengapresiasi seni kriya buatan para bocah pemulung. Karena mereka mampu menciptakan karya seni yang sesungguhnya bisa mengusik hati nurani kita untuk berbuat baik.
Di Muat di harian Surya, Rabu ! Juni 2011
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar