3.

Menunggu Barach Obama Indonesia [2]


NEW YORK (fathz-341.blogspot.com)Obama terpilih. Ternyata rakyat Amerika menerima ide-ide anti-laissez-faire yang dijajakannya. Pajak rakyat kecil akan dia bebaskan, pajak orang kaya akan dia naikkan. Pasar akan mendapat regulasi.
Friedman, terutama Liddle seolah melupakan faktor Obama sendiri. Padahal orang ini istimewa. Coba, ia bisa belajar di Columbia University dan kemudian Harvard, dua universitas terkemuka. Di Harvard, ia selalu tergolong dalam kelompok satu persen mahasiswa paling pintar (top one percent). Ia meraih gelar doktor hukum (JD) dengan yudisium yang membanggakan.



Ketika dengan gelar itu teman-temannya bekerja di perusahaan-perusahaan besar dengan gaji berlimpah, Obama pergi ke Chicago mengabdikan ilmunya bagi rakyat. Agaknya, sejak awal ia telah merintis apa yang diperolehnya sekarang. Apalagi selain cerdas, ia ganteng, suaranya bariton, dan sangat pandai berpidato (eloquence).

Tapi kunci suksesnya yang utama adalah keberhasilan memojokkan John McCain dalam kubu yang sama dengan Presiden George Bush, dengan menyebut pencalonan lawannya sebagai priode ketiga Presiden Bush. Mayoritas rakyat Amerika memang sudah muak kepada Bush karena memberikan penderitaan pada rakyatnya sendiri. Berbagai polling menunjukkan dukungan terhadap Bush di bawah 30%.

Bush menyebarkan demokrasi ke Timur Tengah dengan moncong senjata. Akibatnya ratusan ribu rakyat Iraq meninggal dunia, jutaan orang kehilangan tempat tinggal, dan jutaan lagi menjadi pengungsi di Jordania dan Suriah.

Perang melawan teror yang diproklamirkan Bush menyusul serangan terhadap Menara Kembar WTC dan Gedung Pentagon, berubah menjadi penjajahan terhadap Afghanistan. Tak sedikit rakyat yang tak berdosa menjadi korban – termasuk disebabkan rudal Amerika yang suka nyasar ke pesta perkawinan.

Belum cukup. Untuk menggetarkan lawan-lawannya Bush menciptakan penjara seram di Guantanamo, mirip Gulag, rumah penjara milik pemerintahan komunis Uni Soviet dulu. Hampir 800 orang ditangkap dari berbagai kawasan, terutama dari Timur Tengah, dijebloskan ke Guantanamo. Bertahun-tahun mereka disiksa, tak boleh ditemui dan martabatnya dihinakan.

Mereka dituduh teroris tapi tak pernah diadili. Belakangan mereka mulai dilepaskan secara diam-diam. Maka sejumlah buku terbit dengan para mantan tahanan itu sebagai nara sumber, menyebabkan mata dunia terbelalak mengetahui betapa kejam perlakuan pemerintahan demokratis Amerika Serikat (yang terbaru, antara lain, bacalah The Dark Side, ditulis Jane Mayer, wartawati The New Yorker).

Semua ini menyebabkan Amerika – terutama Presiden Bush -- dibenci masyarakat dunia, termasuk di Eropa. Berbagai survei menunjukkan begitu. Tak aneh kalau sambutan atas terpilihnya Obama datang dari seluruh dunia.

Tak aneh pula kalau rakyat Amerika membenci Presiden Bush. Apalagi, perang menyebabkan jatuh korban tak sedikit, selain biayanya sangat besar. Profesor Joseph Stiglitz, pemenang Nobel ekonomi 2001, memperhitungkan perang Iraq berbiaya 3 triliun dollar. Untuk diketahui semua biaya itu bersumber dari utang dalam bentuk penerbitan surat berharga.
Sistem kapitalisme laissez-faire pertama digunakan Presiden Ronald Reagan, kemudian dilanjutkan dengan konsisten oleh dua priode pemerintahan Bush, menyebabkan Amerika Serikat sekarang terkena resesi ekonomi. Pengangguran tinggi, bulan ini naik menjadi 6.5%, pertumbuhan ekonomi melambat, lalu sejumlah perusahaan raksasa – antara Lehman Brothers dan Bear Stearns – bangkrut.

Konsekuensi dari sistem neo-liberal yang dipakai Presiden Bush menyebabkan terjadi kesenjangan yang parah di dalam masyarakat Amerika. Maka sekali pun pendapatan perkapita negeri itu salah satu yang tertinggi di dunia, 50.000 dollar, tapi jutaan penduduk tak bisa berobat kalau sakit.

Dengan krisis ekonomi sekarang, 3,9 juta penduduk disita rumahnya (lebih jauh tentang kesenjangan ekonomi masyarakat Amerika Serikat baca The Conscience of A Liberal dari Profesor Paul Krugman, terbit akhir tahun lalu).

Dulu Alan Greenspan, bekas Ketua The Fed, bank sentral Amerika Serikat, dipuja sebagai arsitek kemakmuran Amerika. Kini dia dianggap bertanggung jawab atas kebangkrutan negerinya. Idiologi laissez-faire yang dianutnya menyebabkan ia menghadang setiap regulasi untuk pasar Amerika. Pasar tanpa regulasi itu ternyata kemudian menjadi liar tak terkendali dan menjerumuskan.

Adalah tepat kalau pemilihan presiden kemarin di mata Paul Krugman, Guru Besar Ekonomi Politik di Princeton University, pemenang Nobel Ekonomi 2008, tak lain dari referendum terhadap filosofi politik Amerika: konservatif diwakili John McCain dan Partai Republik atau progresif diwakili Obama dan Partai Demokrat. McCain ingin menarik Amerika ke kanan, Obama mencoba menyeret lebih ke kiri.

Obama menawarkan program tentang jaminan pemeliharaan kesehatan, pembebasan pajak untuk rakyat menengah-bawah (middle-class) tapi kemudian menaikkan pajak untuk orang kaya. Maka John McCain menyerang program Obama sebagai gerakan melakukan redistribusi kekayaan ala sosialisme. ‘’Dalam keadaan demikian ternyata rakyat memilih Obama. Itu mandat yang sesungguhnya,’’ tulis Paul Krugman dalam artikelnya di The New York Times, 7 November lalu.

Dan harap dicatat, yang menang bukan cuma Obama. Partai Demokrat memenangkan pertarungan memperebutkan anggota Senat dan DPR (House of Representative). Di kedua kamar parlemen Amerika itu kini Partai Demokrat menguasai mayoritas suara.

Maka kemenangan Obama dan partainya sama dengan tersungkurnya ideologi laissez-faire di Amerika Serikat. Ideologi yang terkenal karena memuja ketamakan (greedy) itu sejak krisis ekonomi 1998, telah dipaksakan IMF dipakai di Indonesia, didukung kelompok Mafia Berkeley di bawah pimpinan Profesor Widjojo Nitisastro.

Sampai sekarang Rezim SBY-JK menggunakannya, menyebabkan terjadi kesenjangan ekonomi yang luar biasa di tengah masyarakat. Segelintir orang kaya – seperti Aburizal Bakrie dan Sukamto Tanoto – bertambah kaya, rakyat banyak bertambah miskin.

Inilah negeri yang para menteri sampai Presidennya sibuk bukan kepalang karena nilai saham milik konglomerat Aburizal Bakrie tersungkur di bursa. Tapi tak peduli rakyatnya antrean panjang di mana-mana. Sesungguhnya negeri ini pun sedang menunggu Barack Obama yang lain.

0 komentar: