GAZA CITY (fathz-341.blogspot.com) Tubuh-tubuh kecil terbaring kaku terbungkus kain kafan putih. Wajah tak berdosa seorang anak pra-sekolah yang sudah mati menyembul dari reruntuhan puing-puing rumahnya. Seorang pria meratapi anak laki-laki yang terluka di UGD setelah Israel menghancurkan sebuah sekolah PBB.
Inilah korban sebuah perang sesungguhnya. Dalam perang Israel-Hamas, anak-anak yang berjumlah lebih dari separuh penduduk Gaza menjadi korban yang paling tak berdaya. Foto Kaukab Al Dayah yang berusia 4 tahun, dengan tangan menutup kepalanya dari reruntuhan rumahnya, muncul di berbagai halaman depan media massa dunia Arab, Rabu (7/1).
”Ini Israel” demikian judul harian Mesir Al-Masry Al-Youm. Anak pra-sekolah ini terbunuh Selasa dini hari ketika sebuah F-16 menyerang rumah berlantai empat milik keluarganya di kota Gaza. Dalam peristiwa itu, empat orang dewasa juga tewas.
Menurut angka yang dikeluarkan PBB, Kamis (8/1), sebanyak 257 anak terbunuh dan 1080 terluka--sekitar sepertiga dari korban jiwa sejak 27 Desember 2008.
Sementara itu, dari Gaza dilaporkan, seorang pria dengan bocah lelaki yang terluka dipelukannya, terlihat berlari menuju rumah sakit, Kamis (8/1). Suasana kacau tampak jelas setelah penyerangan Israel ke sekolah-sekolah yang dikelola PBB. Sedikitnya 50 siswa dilaporkan tewas akibat insiden penyerangan sekolah.
Kaukab menjadi korban saat pesawat F-16 Israel menyerang Gaza, Selasa (6/1), menghancurkan rumah keluarganya. Bersama Kaukab juga tewas empat orang dewasa, dua di antaranya adalah orangtua dan keluarganya yang lain.
Iyad Sarraj, seorang psikolog yang tinggal bersama empat anak angkatnya di sebuah apartemen di Gaza, mengatakan, banyaknya anak-anak yang menjadi korban, memperlihatkan tidak ada lagi tempat yang aman di setiap sudut Gaza, di mana para orangtua pun tidak mampu melindungi anak-anak mereka.
Israel mengklaim, penyerangan yang dilakukan adalah terhadap pejuang Hamas, sebagai jawaban atas serangan roket yang dilakukan Hamas ke Selatan Israel. Namun realitasnya, banyak pihak mencatat, warga sipil tidak dapat melarikan diri dari blokade Gaza dan wilayah yang menjadi sasaran penyerangan Israel adalah permukiman sipil.
Militer Israel menggunakan tank, kendaraan artileri, dan pesawat tempur.
Kendati demikian, sebagian anak-anak Palestina tidak takut. Pada sebuah kamp pengungsian di Shati, 10 bocah lelaki sedang bermain sepakbola di lapangan, saat sebuah bom dari kapal Israel menghantam penjara Hamas, yang berada dekat dengan bocah-bocah itu bermain.
Mendengar suara ledakan, salah satu bocah bersiul untuk memberi tanda agar menghentikan permainan. Para bocah itu segera mencari perlindungan, dengan bersembunyi di balik dinding bangunan terdekat. Setelah beberapa menit, mereka kembali melanjutkan permainan.
"Kamu kira kami tidak takut? Tentu saja kami sangat takut. Tapi, kami tidak bisa berbuat apa pun lagi, kecuali bermain," kata seorang dari bocah itu yang berusia paling tua, Sami Hilal (14). Dia keluar dari rumah kakeknya secara diam-diam, untuk bertemu teman-temannya, agar kakeknya tidak khawatir akan dirinya.
Rumah kakeknya itu juga dipenuhi banyak keluarganya yang mengungsi dari tempat lain, yang lebih berbahaya. Seorang bocah lainnya, Yaser (13), memilih tidak berusaha mencari perlindungan, sebaliknya melambaikan tangan pada kapal Israel tak berawak. "Tidak ada yang bisa kita lakukan. Bahkan, jika kita melarikan diri ke sana atau ke situ, peluru mereka lebih cepat dari kami," ucapnya.
Kenyataan itu menggambarkan betapa seluruh wilayah Gaza telah menjadi wilayah berbahaya. Anak-anak tewas saat berada di rumah mereka, di kendaraan bersama orangtuanya, ataupun yang sedang bermain di jalan-jalan, di toko, bahkan di tempat perlindungan yang dikelola PBB.
Sayed (12), Mohammed (8), dan Raida Abu Aisheh (7), ada di rumah bersama orangtua mereka, saat serangan udara Israel terjadi, Senin (5/1) dan belakangan diketahui menewaskan satu keluarga itu.
Tak Ada Tempat Aman
Hal yang paling sulit bagi anak-anak ini adalah perasaan bahwa tak ada lagi tempat yang aman dan orang dewasa tidak dapat melindungi mereka, kata Iyad Sarraj, seorang psikolog yang bersembunyi di apartemennya di kota Gaza dengan empat anak tirinya yang berusia 3 hingga 17 tahun. Putranya, Adam (10), begitu ketakutan selama serangan bom dan asmanya kambuh, kata Sarraj.
Israel mengatakan serangan mereka menargetkan Hamas dalam menjawab serangan roket yang berulang di Israel selatan dan melakukan segala hal untuk menghindari kematian sipil. Namun, ucapan Israel ini tentu saja sulit diwujudkan. Dalam sebuah perang, apalagi perang di dalam kota, warga sipil pun tak bisa menghindar dari peluru, bom ataupun roket yang ditembakkan. Menurut pejabat misi kemanusiaan asing, warga sipil tak dapat meloloskan diri dari Gaza yang terkepung dan mengebom kawasan padat pastilah menyebabkan banyak korban sipil. Militer Israel menggunakan tank dan granat artileri, juga bom-bom udara.
Di kamp pengungsian Shati di Mediterrania, sepuluh anak laki-laki sedang bermain sepakbola di sebuah lorong, Kamis, ketika granat dari sebuah kapal meriam menghantam area dekat penjara Hamas. Ketika ledakan terdengar, salah satu anak tertua bersiul, sebuah pertanda permainan harus dihentikan dan mereka segera merapat ke tembok. Setelah satu atau dua menit, permainan dilanjutkan.
Samih Hilal (14) mengatakan ia mengendap-endap ke luar rumah kakeknya. Ia dilarang bermain di luar oleh ayahnya yang cemas. Rumah yang ia tinggali penuh dengan kerabat yang melarikan diri dari kawasan yang lebih berbahaya, katanya. Ia tidak bisa berdiam diri selama berjam-jam.
”Anda pikir kami tidak takut? Ya, kami takut. Tapi kami tidak punya apa-apa selain bermain,” kata Samih.
Anak laki-laki lain, Yasser berusia 13 tahun, melambai-lambai ke arah pesawat-pesawat Israel tanpa awak, dengan bahasa tubuh menantang. Ia tidak berusaha mencari perlindungan dari hujan granat.
”Tak ada yang bisa kami lakukan. Bahkan jika kami berlari ke sana dan kemari, bom-bom mereka lebih cepat ketimbang kami,” katanya.
Yasser benar, tak ada tempat aman di Gaza. Anak-anak bisa saja terbunuh di rumah mereka, atau selagi menumpang mobil dengan orangtua, atau saat bermain di jalanan, berbelanja, atau bahkan di tempat perlindungan PBB.
Yang dibutuhkan anak-anak itu kini adalah kebijaksanaan dari pihak-pihak yang bertikai untuk berdamai, memberi ruang untuk mereka agar tumbuh dengan baik, hidup tanpa dendam yang tak berkesudahan demi membalas kematian orang-orang yang mereka cintai.
Tubuh-tubuh kecil mereka perlu berkembang di ruang yang sehat, tanpa ketakutan akan peluru-peluru yang meluncur deras dan mengenai mereka. Sesungguhnya, korban dari sebuah perang adalah anak-anak. Adapted from [ant/ap/www.hidayatullah.com]
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar